Kelesuan pasar alat berat di sektor pertambangan diprediksi masih akan berlanjut


Bisnis alat berat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usaha pertambangan. Maklum saja sektor ekstraksi sumber daya alam ini masih merupakan pasar terbesar alat berat selama ini, dan dalam dua tahun terakhir terus mengalami pelemahan akibat gejolak harga komoditas tambang, terutama batubara, dan komplikasi berbagai persoalan lainnya.



Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang dikeluarkan pemerintah tiap bulan, sejak awal 2014 terus mengalami penurunan dari US$ 81,9 menjadi US$ 65,7/MT pada November 2014. Artinya, harga salah satu sumber energi ini telah turun anjlok 19,7%. Padahal ketika batu bara sedang kinclong, harga mencapai puncak US$ 127/MT. Itu terjadi pada Februari 2011. Nah, jika dihitung dari harga tertinggi tersebut, harga batu bara ini sudah turun hingga 48,2%.

Meski demikian, janji pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla untuk mempercepat pembangunan infrastrtuktur, terutama pembangunan tol laut, menumbuhkan gairah baru di sektor alat berat konstruksi. Realisasi rencana tersebut diharapkan dapat mendorong pertumbuhan penjualan alat pada 2015. Menurut Penasihat Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi), Pratjojo Dewo, saat ini produksi alat berat dalam negeri 85 persen ditujukkan untuk pasar domestik dan hanya 15 persen untuk ekspor.

“Jadi, harapan kami sekarang tinggal realisasi proyek infrastruktur dari pemerintahan yang baru. Kami harap alat berat produksi anak bangsa lebih diutamakan,” ujar Pratjojo berharap.

Produksi alat berat pada kuartal III tahun 2014 turun 20 persen, dari 1.734 unit pada periode yang sama tahun lalu menjadi 1.563 unit. Sedangkan produksi alat berat Januari – September 2014 turun 21 persen atau hanya 3.855 unit dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mampu mencapai 4.894 unit.

Leasing lesu

Penurunan penjualan alat-alat berat berdampak langsung terhadap performa bisnis industri pembiayaan. Bisnis pembiayaan ikut tiarap menyusul merosotnya penjualan alat-alat berat. Diperkirakan prospek industri ini masih menurun pada tahun 2015 akibat harga komoditas pertambangan yang masih di level bawah.

Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno memperkirakan, harga berbagai komoditas, terutama hasil pertambangan belum bisa bangkit sampai pertengahan tahun depan. Alhasil, permintaan alat berat pun bakal tetap merosot.

Menurut prediksi Suwandi, penyaluran pembiayaan alat berat tahun depan akan turun sekitar 10% dari tahun ini. “Sepertinya penurunan di alat berat akan terus berlanjut,” kata Suwandi belum lama ini.

Kondisi tersebut mendesak perusahaan-perusahaan multifinance yang fokus pada pembiayaan alat berat untuk melakukan diversifikasi bisnis mulai dari membuka segmen pembiayaan baru hingga memperluas segmen pembiayaan alat berat ke pasar-pasar yang belum dimaksimalkan.

Menurut Suwandi, salah satu pasar alat berat yang kian digarap lebih serius oleh industri sejak awal tahun ini adalah segmen konstruksi. Pada tahun depan, upaya penetrasi ke segmen ini sepertinya akan makin besar. “Sebagian besar lari ke arah situ,” ia memprediksikan.

Tetapi pasar alat berat konstruksi yang terus menggeliat itu belum bisa menggantikan kontribusi industri pertambangan. Sektor ini tetap menjadi penopang utama permintaan alat berat. Tak heran, hingga akhir tahun ini, pembiayaan alat berat diperkirakan melorot antara 15% sampai 20% dibanding tahun lalu akibat kelesuan industri tambang.

Beberapa multifinance berencana memperbesar porsi pasar pembiayaan ke sektor-sektor non pertambangan. Buana Finance, contohnya, yang mengincar segmen konstruksi dan perkebunan. “Kami juga lihat potensi untuk memperbesar pembiayaan mesin,” kata Direktur Buana Finance, Herman Lesmana.

Sampai kuartal ketiga tahun ini, pelemahan permintaan alat berat dari segmen pertambangan menyebabkan kinerja Buana Finance menurun. Booking baru sampai September turun sekitar 10% menjadi sekitar Rp 1,7 triliun.
BFI Finance juga mencatatkan penurunan di bisnis pembiayaan alat berat. Hingga kuartal ketiga, porsi pembiayaan alat berat menurun dari 12% menjadi 9% dari periode yang sama tahun lalu.